Pakar ISTTS Sebut Usulan Wapres Gibran Masukkan AI ke Kurikulum bak Pedang Bermata Dua

admin-id

SURABAYA, IDEA JATIM — Wakil Presiden Republik Indonesia, Gibran Rakabuming Raka, baru-baru ini menyatakan bahwa artificial intelligence (AI) atau kecerdasan buatan akan mulai dimasukkan ke dalam kurikulum pendidikan nasional. 

Rencana tersebut akan diberlakukan mulai tahun ajaran 2025/2026 di jenjang SD hingga SMA sederajat. Langkah itu dimaksudkan untuk menyiapkan generasi muda menghadapi tantangan era digital dan revolusi teknologi.

Namun, kebijakan ini memicu berbagai tanggapan dari kalangan akademisi dan praktisi pendidikan. Salah satunya datang dari Ketua Program Studi S1 Teknik Informatika di Institut Sains dan Teknologi Terpadu Surabaya (ISTTS), Yosi Kristian.

AI Dinilai sebagai Pedang Bermata Dua

Yosi mendukung pengenalan AI sejak dini. Namun, dia mengingatkan bahwa proses tersebut tidak bisa dilakukan secara serampangan. Menurutnya, AI bisa memberi manfaat besar bagi siswa. Terapi juga berisiko jika tidak diiringi dengan pendampingan yang memadai.

“AI ini seperti pedang bermata dua. Anak-anak perlu dikenalkan, tetapi jangan sampai jadi candu. Kalau terlalu dini dikenalkan tanpa pendampingan, bisa jadi dampaknya tidak baik untuk perkembangan mereka,” kata Yosi, Selasa (6/5/2025).

Dia juga menyoroti bahwa tanpa pemahaman yang utuh, anak-anak bisa menyalahgunakan teknologi atau bahkan terlalu bergantung padanya. Karena AI sebenarnya merupakan alat bantu, bukan sebuah pengganti peran manusia.

“AI itu tidak selalu 100 persen benar. Kita pakai machine learning, dan kadang hasilnya keliru. Itu harus diajarkan sejak awal ke siswa, supaya tidak misleading dan tidak menggantungkan diri sepenuhnya pada AI,” pesan Yosi.

Pentingnya Edukasi yang Bertanggung Jawab

Menurut Yosi, pengenalan AI di sekolah harus diikuti dengan konsep edukasi “Responsible AI,” yaitu memahami batasan, etika, dan tanggung jawab dalam menggunakan teknologi.

Dirinya juga menceritakan bahwa pihaknya sempat mengisi sebuah kegiatan pengenalan AI di berbagai sekolah menengah atas atau sederajat. Dia menemukan bahwa pandangan orang-orang terhadap AI sangat beragam. Bahkan ada yang anti terhadap kehadiran teknologi itu.

“Kami pernah mengajar di beberapa SMA dan menemukan siswa yang menangis karena merasa AI adalah ancaman. Mereka takut digantikan oleh AI. Ini menunjukkan bahwa edukasi yang benar-benar menyeluruh itu penting,” ceritanya.

Permasalahan tentang pendidikan AI sebenarnya mirip dengan diskursus tentang pendidikan seksual di sekolah yang juga selalu menuai pro-kontra karena dianggap sebagai hal yang tabu.

“Permasalahannya anak-anak zaman sekarang itu sudah canggih kalau tidak dikenalkan dari sekolah, mereka bisa dapat info yang salah dari luar. Justru lebih baik diajarkan di sekolah dengan pengawasan,” tutur Yosi.

Lapangan Kerja Baru di Era AI

Tak hanya bicara soal risiko, Yosi juga menegaskan bahwa AI membuka banyak peluang karier baru. Bahkan jurusan di luar bidang informatika pun kini harus adaptif terhadap perkembangan AI. Maka dari itu, ISTTS mendeklarasikan diri sebagai Kampus AI.

“Sekarang banyak job baru seperti prompt engineer. Orang yang bisa memanfaatkan AI untuk mendesain, bikin konten, menulis. DKV sekarang pun belajar AI. Jadi bukan hanya soal teknologi, tapi lintas bidang,” ucapnya.

Yosi menjelaskan, AI seperti Gemini, ChatGPT, atau Claude dari Anthropic, kini terus berkembang sangat cepat. Oleh karena itu, pendidik juga harus terus memperbarui pemahaman mereka.

“Dalam beberapa bulan saja, siapa yang paling pintar bisa berubah. Gemini dulunya diremehkan, sekarang di atas. Ini dinamis, jadi sekolah juga harus cepat beradaptasi,” papar Yosi.

Perlu Kolaborasi Luas dalam Implementasi

Sebagai penutup, Yosi menekankan bahwa implementasi kurikulum AI tidak bisa diserahkan begitu saja kepada siswa atau guru tanpa persiapan. Diperlukan pelatihan, kolaborasi, dan kurikulum yang jelas agar AI bisa menjadi alat bantu, bukan ancaman.

“Kalau mau sukses, semua pihak harus paham AI itu apa, bisa apa, dan juga bahayanya. Jangan sampai ada anak yang tanya AI hal sensitif seperti ‘haruskah saya bunuh diri’ tanpa pendampingan. Itu berbahaya,” tukasnya.

Dengan pendekatan bertanggung jawab dan inklusif, Yosi percaya AI bisa menjadi bagian penting dalam pendidikan masa depan, asal semua pihak siap menghadapinya. (*)

Share This Article