Revitalisasi Bahasa Jawa: Krama Inggil akan Temani Logat Arek Suroboyo setiap Hari Kamis

admin-id

SURABAYA, IDEA JATIM – Kata “rek” dan “koen” mungkin sudah jadi bagian tak terpisahkan dari keseharian warga Surabaya. Meski kerap diasosiasikan dengan bahasa yang lugas atau bahkan kasar, sebenarnya logat khas itu mencerminkan keakraban, spontanitas, dan identitas kota. 

Tapi, bagaimana jadinya jika gaya tutur khas Surabaya tersebut dipadukan dengan Bahasa Jawa halus, seperti Krama Inggil, yang biasanya terdengar lebih formal dan sarat akan unggah ungguh? Itulah pendekatan baru yang tengah digalakkan oleh Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya melalui program revitalisasi Bahasa Jawa di lingkungan pendidikan. 

Melalui Dinas Pendidikan (Dispendik), Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya mengambil langkah konkret untuk menghidupkan kembali Bahasa Jawa, terutama Krama Inggil dengan tetap mempertahankan nuansa lokal yang akrab dan membumi.

“Bahasa Jawa telah ditetapkan sebagai pelajaran wajib, dan Krama Inggil akan menjadi bagian tak terpisahkan dari modul ajar kami,” jelas Yusuf Masruh, Kepala Dispendik Kota Surabaya, Kamis (3/6/2025).

“Ini adalah langkah konkret untuk membiasakan siswa dan seluruh warga sekolah berkomunikasi dalam Bahasa Jawa, sehingga tidak hanya teori tapi juga praktik,” ucap 

Siswa Wajib Berbahasa Jawa di Hari Kamis

Upaya tersebut ditegaskan dalam Peraturan Wali Kota Surabaya Nomor 17 Tahun 2025, yang menjadikan Bahasa Jawa sebagai muatan lokal wajib dari TK hingga SMP. Salah satu program unggulannya adalah “Kamis Mlipis”, yakni penggunaan Bahasa Jawa setiap hari Kamis di lingkungan sekolah.

Menariknya, kebijakan itu tidak bersifat kaku. Justru, pendekatannya fleksibel dan kontekstual. Penggunaan istilah khas Surabaya seperti “rek” dan “koen” tetap diperbolehkan dalam kegiatan belajar, terutama saat mendongeng atau berdialog.

“Pengajaran akan disesuaikan dengan Bahasa Jawa khas Surabaya. Misalnya, dalam mendongeng, siswa bisa menggunakan cerita daerah dengan logat khas Surabaya seperti kata ‘rek’ atau ‘koen’, menunjukkan fleksibilitas dalam penerapan,” kata Yusuf.

Kolaborasi Banyak Pihak

Tak hanya itu, Dispendik Surabaya juga menggandeng Balai Bahasa Jawa Timur, Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) Bahasa Jawa, hingga tim akademisi dari UNESA dan daerah sekitar seperti Gresik dan Sidoarjo untuk menyusun modul ajar khusus yang mengintegrasikan Krama Inggil dengan konteks lokal.

“MGMP Bahasa Jawa Kota juga diberi mandat untuk menyusun modul ajar revitalisasi Bahasa Jawa, lengkap dengan Surat Perintah Tugas resmi,” terangnya.

Langkah-langkah tersebut juga diiringi dengan strategi sosialisasi yang matang, yakni dengan pembentukan tim khusus yang terdiri dari 24 guru. Yakni 12 guru jenjang SD dan 12 guru jenjang SMP untuk mensosialisasikan program tersebut kepada koordinator guru di wilayah masing-masing.

“Tim guru dari SD dan SMP ini juga akan terlibat aktif dalam penyusunan modul ajar di Balai Bahasa Jawa Timur pada 24-26 Juni 2025,” jelasnya.

Sebagai wujud apresiasi bagi anak-anak, Dispendik Surabaya juga mendorong lomba-lomba berbahasa Jawa seperti menulis cerpen, mendongeng, menembang, hingga menulis aksara Jawa. 

Perihal mekanisme pengawasan dan evaluasi keberhasilan program akan dilakukan oleh Balai Bahasa melalui jurnal dan pendampingan. Yusuf juga mengungkapkan bahwa Balai Bahasa akan membentuk grup untuk memfasilitasi koordinasi dan pengiriman hasil kerja berupa modul pengajaran.

“Jadi tidak ada program percontohan atau uji coba menyeluruh, kendati demikian nanti akan ada pelatihan khusus bagi guru-guru tertentu mengenai tata cara pengajaran dan penggunaan modul untuk diimbaskan oleh tim penyusun modul,” tutupnya.

Dengan pendekatan yang fleksibel, upaya revitalisasi Bahasa Jawa di Surabaya menunjukkan bahwa kesantunan Krama Inggil bisa berjalan seiring dengan kekhasan logat lokal arek Suroboyo. (*)

Share This Article