Napak Tilas Mayor Hamid Rusdi: Pahlawan Asal Malang yang Sejarahnya Kabur di Tanah Kelahiran

admin-id

MALANG, IDEA JATIM—Nama Mayor Hamid Rusdi abadi di beberapa sudut Kota Malang. Dia dikenal dari berbagai nama tempat. Mulai dari nama jalan, terminal, hingga monumen di kawasan Simpang Balapan. Namun banyak orang yang hanya tahu kemasyhurannya, tanpa tahu jejak sejarahnya.

Hamid Rusdi lahir di Dusun Krajan, Desa Sumbermanjing Kulon, Kecamatan Pagak, Kabupaten Malang, pada tahun 1911. Dia merupakan putra dari H. Umar Rusdi, ulama karismatik yang dikenal sebagai seorang saudagar pada masanya.

Hamid merupakan anak keempat dari delapan bersaudara. Dia tumbuh dari lingkungan religius dan keluarga yang cukup mapan. Namun kenyamanan itu tak membuatnya apatis terhadap nasib bangsanya yang kala itu sedang dijajah.

Dia bahkan sempat mengikuti pelatihan militer Jepang pada masa pendudukan. Ketika Jepang kalah di Perang Dunia II dan mulai meninggalkan Indonesia, Hamid memimpin aksi pelucutan senjata tentara Jepang di wilayah Malang: aksi yang penuh risiko dan menuntut keberanian tinggi.

Pascaproklamasi, dia menjadi bagian dari Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang kemudian bertransformasi menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI).

Hamid bahkan sempat menyandang pangkat Letnan Kolonel sebelum akhirnya diturunkan menjadi Mayor karena kebijakan efisiensi anggaran negara kala itu.

Pada masa Agresi Militer Belanda II, dia memimpin pasukan Gerilya Rakyat Kota (GRK), kelompok militer rakyat yang terkenal karena menciptakan bahasa walikan atau bahasa terbalik.

Cara komunikasi itu sengaja digunakan untuk menyamarkan komunikasi dari intelijen musuh. Bahasa ini kelak menjadi ciri khas tata wicara warga Malang.

Hamid Rusdi gugur di medan pertempuran pada 8 Maret 1949 di kawasan Wonokoyo, Kedungkandang. Dia ditembak mati oleh pasukan Belanda. Dia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Suropati, Kota Malang.

Namun ironisnya, jejak sejarah Hamid Rusdi justru kabur di tempat kelahirannya. Padahal, rumah masa kecilnya masih ada: berdiri di selatan Simpang Empat Desa Sumbermanjing Kulon.

“Tapi tidak ada penanda sejarah. Tak ada prasasti atau narasi yang menandakan bahwa dari rumah itu lahir seorang pejuang besar bangsa,” kata pensiunan guru sejarah, Budi Hartono,

Anggota Paguyuban Amartya Bhumi Kepanjian itu menilai, pengabaian semacam ini mencerminkan kegagalan bangsa dalam membangun kesadaran sejarah dari akarnya.

“Di kota, kita punya patung dan nama jalan. Tapi di desa–tempat nilai-nilai pembentuk karakter Hamid Rusdi dibentuk–justru sunyi dari ingatan kolektif,” sesalnya.

Monumen patung Mayor Hamid Rusdi yang berdiri gagah di Simpang Balapan, Klojen, diresmikan pada 10 November 1975 atas inisiatif Korem 083/Baladhika Jaya bersama Pemerintah Kota (Pemkot) Malang.

Selain itu, namanya juga diabadikan sebagai nama terminal. Yaitu Terminal Hamid Rusdi. Namanya juga abadi di sebagai nama jalan di beberapa titik strategis di Kota Malang.

Namun belum ada satu pun penanda sejarah resmi di Desa Sumbermanjing Kulon. Bahkan generasi muda setempat banyak yang belum mengenal sosok Hamid Rusdi secara utuh.

“Kami berharap ada inisiatif bersama. Minimal membuat plakat sejarah atau ruang literasi kecil di kampung ini. Karena bangsa yang besar harus mulai dari mengenali pahlawan-pahlawan yang lahir dari rahim desanya sendiri,” pungkas Budi. (*)

Share This Article