SURABAYA, IDEA JATIM – Usulan pemerintah untuk memberikan izin pengelolaan tambang kepada perguruan tinggi telah menjadi sorotan dalam beberapa waktu terakhir. Wacana tersebut muncul dalam revisi Undang-Undang Mineral dan Batubara (UU Minerba) yang memungkinkan perguruan tinggi mengelola Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) melalui badan usaha milik kampus.
Namun, di tengah potensi manfaat ekonomi tersebut, muncul pertanyaan, apakah kampus, dengan idealisme akademiknya, siap berkubang dalam kerasnya dunia tambang? Mampukah mereka menjaga independensi akademik dan potensi konflik kepentingan di tengah tekanan industri? Terlebih opini publik tentang tambang cenderung negatif.
Dalam upaya menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) bersama Pengurus Pusat Ikatan Alumni (PP IKA ITS) menggelar Focus Group Discussion (FGD) bertajuk “Prospek Pengelolaan Tambang oleh Badan Usaha Perguruan Tinggi: Pro dan Kontra”.
ITS Menyambut Baik, Tapi Tidak Tanpa Catatan
Salah satu kesimpulan FGD tersebut disampaikan oleh Prof. Agus Muhamad Hatta, selaku Wakil Rektor IV ITS sekaligus Ketua Dewan Pakar PP IKA ITS, ia menegaskan bahwa ITS secara prinsip menyambut baik usulan pemerintah ini. Ia melihat peluang untuk menghilangkan opini negatif tentang tambang melalui perbaikan tata kelola pertambangan agar lebih ramah lingkungan dan berkeadilan.
“Jika dikelola dengan baik, izin pengelolaan tambang bagi perguruan tinggi bisa menjadi langkah strategis dalam mendorong riset dan inovasi, serta memberikan manfaat ekonomi bagi kampus maupun masyarakat sekitar,” ujar Prof. Hatta, saat dikonfirmasi pada Kamis (5/2/2025).
Namun, ia tidak menutup mata terhadap tantangan yang ada. Menurutnya, kompleksitas regulasi, risiko lingkungan, serta potensi konflik sosial harus menjadi perhatian utama.
“Industri pertambangan selalu diasosiasikan dengan dampak negatif. Tapi justru di situlah peluangnya, perguruan tinggi bisa menjadi agen perubahan untuk tata kelola tambang yang lebih berkelanjutan dan berkeadilan,” tambahnya.
Tantangan Regulasi dan Pentingnya Kemitraan Strategis
Senada dengan Prof. Hatta, Arman Hakim Nasution, Kepala Pusat Studi Pengembangan Industri dan Kebijakan Publik ITS, menekankan bahwa pemberian izin tambang kepada perguruan tinggi bisa menjadi solusi atas keterbatasan pendanaan riset. Namun, ia menggarisbawahi bahwa regulasi dan perizinan yang kompleks memerlukan pemahaman mendalam dan strategi yang matang.
“Pemberian izin ini bukan sekadar soal bisnis, tapi bagaimana perguruan tinggi bisa berperan aktif dalam mengelola sumber daya alam secara berkelanjutan,” ujar Arman.
Ia juga memaparkan tiga skema operasional yang bisa diterapkan badan usaha milik perguruan tinggi:
- Dikelola sepenuhnya oleh badan usaha milik perguruan tinggi
- Dikerjasamakan sepenuhnya dengan pihak ketiga
- Kemitraan dengan porsi kepemilikan yang disepakati
Menurut Arman, kemitraan strategis dengan perusahaan tambang berpengalaman menjadi kunci. Baginya, bermitra dengan investor maupun perusahaan tambang tidak hanya soal kebutuhan investasi yang besar, namun juga agar memperkuat kesiapan kampus masuk ke sektor tersebut.
“Perguruan tinggi punya keunggulan di riset dan inovasi, tapi soal operasional tambang, kita butuh partner yang benar-benar paham industri ini,” tegasnya.
Belajar dari Pengalaman Industri Migas
Ia mengingatkan bahwa pengalaman buruk dalam implementasi Participating Interest (PI) di sektor migas, di mana kepemilikan mayoritas justru menjadi beban bagi beberapa Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), seharusnya menjadi pelajaran berharga.
“Banyak PI di migas yang gagal karena memaksakan BUMD harus mayoritas. Akhirnya, justru muncul berbagai siasat untuk mengakali aturan tersebut,” ungkap Lukman.
Ia menyarankan ITS untuk mempertimbangkan berbagai opsi skema kemitraan:
- 51/49 (perguruan tinggi mayoritas)
- 40/60 (investor mayoritas)
- 30/70 (investor mayoritas)
Menurutnya, meski perguruan tinggi berada di posisi minoritas, mereka tetap bisa mengendalikan manajemen risiko melalui pemilihan mitra yang tepat dan mekanisme pengawasan yang kuat.
Menjaga Independensi Akademik di Tengah Kepentingan Bisnis
Sebagai penanggap, Satya Widya Yudha, Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) RI periode 2020–2025, menegaskan bahwa keterlibatan perguruan tinggi dalam industri tambang tidak boleh mengorbankan prinsip akademik.
“Independensi perguruan tinggi harus tetap dijaga. Tantangannya adalah bagaimana menciptakan model bisnis yang sejalan dengan misi pendidikan, tanpa terjebak dalam konflik kepentingan,” ujarnya.
Satya juga menegaskan pentingnya pengalaman industri dalam memilih mitra. “Jangan sampai terjadi seperti di PI migas, di mana banyak BUMD akhirnya menjadi ‘sleeping partners’ karena tidak punya kapasitas teknis yang memadai,” tambahnya.
Kesimpulan: Dukungan dengan Catatan Kritis
Hasil FGD ITS menunjukkan bahwa meskipun ITS mendukung usulan pemerintah ini, dukungan tersebut disertai dengan berbagai catatan kritis. ITS menilai peluang ini bisa mendorong kemandirian finansial dan penguatan riset, namun menuntut kesiapan dalam aspek regulasi, manajemen risiko, dan tata kelola yang transparan.
Pada akhirnya, pengelolaan tambang oleh perguruan tinggi bukan hanya soal mencari keuntungan finansial. Lebih dari itu, ini adalah ujian bagi perguruan tinggi untuk membuktikan apakah mereka bisa menjadi pelopor dalam menciptakan industri tambang yang berkelanjutan, berkeadilan, dan berorientasi pada kemaslahatan publik. (*)